-->

Pesantren Attahdzib

Pesantren Attahdzib

Begini salah, begitu salah kaprah


                            
                                              

Begini salah, begitu salah kaprah
“Diperingatkan berurusan dengan polisi, dibiarkan dianggap tak peduli” kurang lebih seperti itu yang dirasakan oleh mayoritas para guru dimasa kini. Saat sang guru memberi peringatan kepada muridnya yang melakukan kesalahan, justru orang tua lebih membela anaknya yang bersalah melalui jalan melaporkan sang guru ke pihak yang berwajib.

Dimanakah bentuk kepercayaan orang tua kepada guru saat ia melaporkan guru dengan dalih anaknya dihukum karena melakukan pelanggaran? Dan dimana pula bentuk kepercayaan itu saat orang tua tak terima karena anaknya tidak naik kelas? Orang tua kini lebih banyak mempercayai omongan anak tanpa ber-tabayyun terlebih dahulu kepada guru maupun lembaga terkait.

Di dalam kitab Nahwu Wadhih juz 2 tsanawiyah halaman 142 ada dua bait yang menjelaskan fenomena tabu ini,

اعلمه الرماية كل يوم   #   فلما اشتد ساعده رماني
وكم علمته نظم القوافي   #   فلما قال قافية هجا ني

“aku mengajarinya memanah setiap hari, dan ketika lengannya sudah kuat dia memanahku. Dan sering aku mengajarinya nadhom qofiyah, dan ketika ia mengucapkan qofiyah dia menyindirku”
Jauh sebelum masa ini, di kitab Nahwu Wadhih telah dituliskan bait ini. Hal ini menunjukkan balasan buruk seorang murid terhadap guru yang telah mendidiknya.

Istilah guru dalam bahasa jawa diterjemahkan sebagai seseorang yang digugu dan ditiru, sehingga guru merupakan sosok yang harus dipercaya dan dijadikan sebagai suri tauladan. Namun dimasa kini pengertian guru sebagai sosok yang harus digugu dan ditiru nampaknya harus ternodai, gurun kini hanya dijadikan sebagai sebuah profesi, banyak para guru yang kini lebih mementingkan urusan gaji tanpa memikirkan keadaan sang murid, guru kini lebih sibuk mengurus sertifikasi ataupun persyaratan agar diangkat menjadi PNS. Selain itu, perilaku guru yang tak patut ditiru juga membuat pengertian guru sebagai sosok yang harus digugu dan ditiru harus ternodai.

Terlepas dari itu semua, masih banyak sosok guru yang benar-benar layak untuk digugu dan ditiru, terutama di lingkungan pesantren. Dalam dunia pesantren, guru identik sebagai sosok yang ikhlas, bagaimana tidak? Dengan hanya mengharapkan barokah saja tanpa memandang besaran gaji yang ia terima, guru bukan hanya mengajar santri/siswa di kelas saja, tapi guru di pesantren sangat berperan dalam membentuk karakter santri, guru menjadi orang tua bagi para santri saat di pesantren.

Tak ada istilah mantan guru, guru tetaplah guru sampai kapanpun. Meskipun murid telah menjadi lurah, PNS, dosen, bahkah presiden, ia tetaplah murid dari gurunya, sehingga tak salah apabila guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Di dunia pesantren, sudah seharusnya guru mendapatkan kemuliaan atas jasa-jasanya, tapi sekarang ini justru memprihatinkan, saat ia benar-benar ikhlas mendidik “dengan hati, bukan demi gaji”, ia malah mendapat balasan sebaliknya dari santrinya. Memang tidak semua santri seperti itu, tapi jumlahnya bisa dikatakan tidak sedikit.

Ketika santri sudah keluar dari pesantren, banyak yang lupa terhadap gurunya, maka istilah “kacang yang lupa pada kulitnya” sangat cocok baginya. Dan yang lebih buruk dari itu, ketika santri masih berada di pesantren sudah memberikan balasan yang buruk terhadap gurunya, santri yang katanya penerus perjuangan Islam justru tak menampilkan identitas santri dalam dirinya, ia dengan bangganya mengadu domba antara guru dengan orang tuanya, menjelek-jelekkan guru dimata orang tua, dengan tanpa perasaan bersalah ia mengatakan dipukul oleh pengurus (guru), padahal kenyataannya tidak. Kalau sudah seperti ini, dimanakah balas budimu?...


Related Posts

Subscribe Our Newsletter