KEISTIMEWAAN UMAT NABI MUHAMMAD SAW.
Keistimewaan Umat Nabi Muhammad SAW |
Sumber : Kitab Khosoish al-Ummah Muhammadiyah Bab I halaman
10-17.
Karangan : Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani.
Karangan : Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani.
Dicintai dan dimuliakannya
Rasulullah Muhammad ﷺ oleh Allah berdampak pada ikut dimuliakannya umat beliau.
Dalam syariat Islam banyak ajaran yang menunjukkan betapa Allah begitu
memuliakan umat ini dibanding dengan umat-umat sebelumnya, termasuk Bani
Israil. Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki di dalam kitabnya Khosoish al-Ummah
Muhammadiyah menuturkan berbagai kemulian yang diberikan oleh Allah kepada umat
Nabi Muhammad di mana kemuliaan-kemuliaan itu tidak diberikan kepada umat Bani
Israil.
Di antara perlakuan Allah yang mengistimewakan umat akhir zaman ini adalah:
Di antara perlakuan Allah yang mengistimewakan umat akhir zaman ini adalah:
Pertama, bila pakaian seorang Bani Israil terkena najis maka satu-satunya
cara yang dapat dilakukan untuk mensucikan kembali pakaian tersebut adalah
dengan memotong bagian yang terkena najis. Bahkan menurut sebagaian ulama bahwa
bila anggota badan seorang Bani Israil terkena najis maka ia mesti memotong
bagian anggota badan yang terkena najis tersebut untuk mensucikannya.
Imam Abu Dawud meriwayatkan:
Imam Abu Dawud meriwayatkan:
كَانُوا إِذَا
أَصَابَهُمُ الْبَوْلُ قَطَعُوا مَا أَصَابَهُ الْبَوْلُ مِنْهُمْ
Artinya: “Adalah Bani Israil bila
mereka terkena air kencing maka mereka memotong apa yang terkena air kencing
itu.” (Abu Dawud As-Sijistani, Sunan Abi Dâwûd [Beirut: Muassasah Ar-Rayan],
1998, juz I, hal. 159) Ini berbeda dari umat Nabi Muhammad di mana untuk
mensucikan apa saja yang terkena najis Allah memerintahkan pensuciannya cukup
dengan air dan dengan debu untuk najis tertentu.
Kedua, bila seorang perempuan Bani Israil sedang mengalami haid atau
menstruasi maka ia akan ditinggal sendirian di rumah. Mereka tidak
diperbolehkan berhubungan, tinggal, dan makan bersamanya Berbeda dari umat Nabi
Muhammad yang diperbolehkan bergaul, makan bersama, tinggal serumah, dan juga
tidur sekasur dengan istri yang sedang haid. Hanya saja mereka tidak
diperbolehkan berhubungan intim dengannya.
Ketiga, ketika seorang Bani Israil melakukan tindak pidana pembunuhan
maka satu-satunya hukuman yang diterapkan baginya adalah hukuman mati, baik
pembunuhan yang dilakukan itu berupa pembunuhan yang disengaja ataupun
pembunuhan yang tidak disengaja. Di dalam hukum Bani Israil juga tidak
diberlakukan diyat dalam kasus pembunuhan ataupun pencederaan terhadap anggota
badan. Berbeda dari umat Rasulullah Muhammad ﷺ di mana Allah memberikan
keringanan bagi umat ini dalam hal pembunuhan. Dalam syari’at Islam
diberlakukan diyat sebagai pengganti qishash apabila keluarga orang yang dibunuh
memberika maaf bagi orang yang membunuh. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh
Allah di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 178:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Maka barang siapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat.”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Maka barang siapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat.”
Keempat, ketika Bani Israil melakukan kesalahan berupa penyembahan
terhadap sapi maka satu-satunya jalan untuk bertaubat adalah dengan cara
membunuh diri mereka sendiri. Orang yang menyembah sapi menyerahkan diri kepada
orang yang tak menyembahnya untuk dibunuh. Dengan jalan seperti itu Bani Israil
melakukan pertaubatan. Tidak hanya itu. Ketika mereka melakukan sejumlah
tindakan dosa tertentu pun cara taubatnya dengan memotong anggota badan yang
melakukan kesalahan tersebut. Lidah harus dipotong ketika mengucapkan
kebohongan, kemaluan mesti dipotong manakala melakukan perzinahan, dan biji
mata dicukil ketika melihat perempuan yang bukan mahramnya. Berbeda dari umat
Nabi Muhammad, di mana Allah memberikan jalan yang mudah bagi mereka untuk
melakukan pertaubatan atas dosa-dosa yang dilakukan. Bahkan Allah mengabarkan
bahwa Ia akan menerima taubat dan memaafkan setiap kesalahan. Allah berfirman
dalam surat An-Nisa ayat 110:
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: “Barang siapa yang
melakukan kejelekan atau berbuat aniaya pada diri sendiri kemudian ia meminta
ampun kepada Allah maka ia akan mendapati Allah sebagai Tuhan yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kelima, bila salah seorang Bani Israil melakukan satu perbuatan dosa
atau kemaksiatan maka di pagi hari akan ia temui di pintu rumahnya satu tulisan
“Si Fulan telah melakukan perbuatan dosa ini dan itu. Sebagai tebusannya adalah
ini dan itu.” Tulisan ini dapat dibaca oleh siapapun secara umum. Sedangkan
umat Nabi Muhammad selalu ditutup-tutupi oleh Allah manakala melakukan
perbuatan dosa. Allah tidak membuka dan mengumbar kesalahan mereka kepada orang
lain. Ia selalu menutup rapat kesalahan tersebut hingga terkadang justru
pelakunya sendiri yang membuka aib dirinya.
Keenam, Allah tetap akan menyiksa Bani Israil yang melakukan perbuatan
salah meskipun itu hanya merupakan kata hati mereka dan tidak dilakukan oleh
anggota badannya. Dahulu mereka pernah mendatangi para nabi dan rasul yang
diutus kepada mereka. Kepada para nabi dan utusan itu mereka memprotes atas syari’at
yang tetap akan menyiksa mereka atas apa yang dibatinkan oleh hati mereka
meskipun tidak sampai dilakukan oleh anggota badan. Maka mereka mengkufuri
syari’at tersebut dengan mengatakan sami’nâ wa ‘ashainâ (kami dengar namun kami
membangkangnya). Berbeda dari umat ini, ketika mereka mengetahui bahwa Allah
akan menghisab setiap perilaku baik yang berupa perbuatan anggota badan maupun
yang berupan bisikan hati, umat Nabi Muhammad mengucapkan kami mendengar, kami
mematuhi, kami berserah diri dan percaya kepada Allah, malaikat, dan para
rasul-Nya. Maka kemudian Allah mengkhabarkan bahwa Ia mengampuni (tidak akan
menghisab) apa-apa yang dibatinkan di dalam hati. Allah hanya akan menghisab
perbuatan yang secara nyata dilakukan oleh anggota badan.
Ketujuh, dosa yang dihasilkan oleh Bani Israil karena salah dalam
berbuat atau karena lupa tetap beresiko dengan disegerakannya hukuman atas dosa
tersebut. Sebagaimana Allah telah mengharamkan suatu makanan dan minuman atas
mereka sebagai hukuman atas suatu dosa yang mereka lakukan. Berbeda dari umat
Nabi Muhammad di mana Allah tidak menjatuhkan hukuman kepada mereka atas
kesalahan, kelupaan, dan apa saja yang dilakukan karena terpaksa. Ini
sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Artinya: “Sesunguhnya Allah
memaafkan karena aku dari umatku kesalahan, lupa, dan apapun yang mereka
dipaksa untuk melakukannya.” (HR. Ibnu Majah, Baihaki, dan lainnya).
Kedelapan, Allah mengharamkan Bani Israil melakukan kegiatan-kegiatan
duniawi di hari Sabtu sebagai hari raya mereka. Pada hari itu Bani Israil hanya
diperbolehkan melakukan peribadatan kepada Allah saja. Maka ketika mereka
melanggarnya dengan tetap berburu ikan di lautan Allah mengubah wujud menjadi
seekor kera. Sedangkan umat Nabi Muhammad tidak diperlakukan seperti itu oleh
Allah. Mereka diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan apapun meskipun di hari
Jum’at sebagai hari raya umat Islam. Baik sebelum maupun sesudah shalat Jum’at
umat Nabi Muhammad diperkenankan melakukan aktifitas duniawi tanpa ada ancaman
hukuman apapun dari Allah.
Kesembilan, bagi Bani Israil dan kaum yang lain penyakit thâ’ûn merupakan
kotoran dan siksaan. Sedangkan bagi umat Nabi Muhammad penyakit thâ’ûn dijadikan
oleh Allah sebagai rahmat dan kesyahidan bagi mereka.
Kesepuluh, ada beberapa makanan yang diharamkan oleh Allah bagi Bani
Israil. Beberapa makan itu di antaranya adalah setiap binatang yang memiliki
kuku dan lemak yang ada pada binatang, kedua haram bagi Bani Israil. Keduanya
diharamkan oleh Allah sebagai hukuman bagi mereka karena perilaku mereka yang
berbuat dzalim, menentang dan mempermainkan syariat Allah. Hal ini direkam oleh
Allah dalam firman-Nya pada surat An-Nisa ayat 160:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ
هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا
Artinya: “Maka disebabkan
perbuatan aniaya dari orang-orang yahudi Kami haramkan atas mereka beberapa
makanan yang baik-baik yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka, dan juga
dikarenakan mereka serig menghalang-halangi jalan Allah.“ Adapun umat Nabi
Muhammad Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik, tanpa kecuali, dan
mengharamkan atas mereka setiap yang jelek. Ini ditegaskan-Nya dalam ayat 5
surat Al-Maidah: الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ
الطَّيِّبَاتُ Artinya: “Pada hari ini telah Aku halalkan bagi kalian yang
baik-baik.”
Kesebelas, ketika Bani Israil mendapatkan barang rampasan perang
(ghanimah) mereka diharamkan untuk mengambil dan membagikannya. Yang
diperintahkan kepada mereka adalah mengumpulkan barang rampasan itu, lalu akan
turun api dari langit yang menyambar dan membakarnya sebagai tanda bahwa
diterimanya peperangan yang mereka lakukan. Sedangkan umat Nabi Muhammad
diperbolehkan mengambil dan memanfaatkan barang rampasan perang, bahkan
dijadikannya sebagai sesatu yang halal dan penuh berkah. Allah berfirman dalam
Surat Al-Anfal ayat 69:
فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا
Artinya: “maka makanlah dari apa
yang kalian rampas sebagai sesuatu yang halal dan baik.”
Kedua belas, umat-umat terdahulu tidak diperbolehkan melakukan shalat
kecuali di tempat-tempat yang telah ditentukan seperti gereja dan pagoda. Bila
mereka tidak datang bersembahyang di tempat yang telah ditentukan itu maka
mereka tidak bisa menggantinya di sembarang tempat. Mereka mesti datang ke
tempat peribadatan yang ada untuk mengganti shalat yang ditinggalkannya itu.
Al-Bazar dalam satu hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abas mengatakan bahwa tak
ada seorang nabi pun yang melakukan shalat hingga ia berada di mihrabnya.
Sementara umat Nabi Muhammad tidak demikian. Allah menjadikan setiap jengkal
tanah di bumi ini sebagai tempat shalat mereka. Kapanpun dan di manapun mereka
hendak melakukan shalat bisa dilakukan di tempat manapun asalkan bersih dan
suci dari najis. Tak ada tempat yang dikhususkan untuk shalat bagi umat Baginda
Muhammad ﷺ
Ketiga belas, dalam syariat umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad mereka
hanya bisa bersuci dengan air saja. Tak ada aturan yang membolehkan mereka
bersuci dengan menggunakan media selain air. Maka ketika mereka hendak shalat
dan tidak menemukan air, mereka tidak bisa melakukannya sampai menemukan air
untuk bersuci dan kemudian mengqadla shalat yang telah ditingalkannya. Berbeda
dari umat Nabi Muhammad, ketika mereka hendak melakukan shalat dan tidak
menemukan air maka mereka bisa bersuci dengan menggunakan debu yang suci.
Demikian Allah—melalui syari’at-Nya—memperlakukan umat Nabi Muhammad ﷺ secara
istimewa bila dibandingkan dengan perlakukan Allah kepada umat-umat terdahulu.
Ada kemudahan dan keringanan dalam syari’at Islam yang dibawa oleh Rasulullah.
Atas semua itu maka selayaknya bila umat Nabi Muhammad bersyukur kepada Allah
dengan melakukan ketaatan dan ketakwaan yang semestinya dan berterima kasih
kepada Rasulullah dengan mengikuti akhlak mulianya.
INFOKOM PESANTREN ATTAHDZIB