DI RUMAH, KULTUR SANTRI HARUS ADA
Sejumlah
pesantren di berbagai wilayah yang biasanya ramai dengan para santri kini sepi
ditinggal para penghuninya, termasuk pesantren Attahdzib. Ya, sejak dikeluarkan
surat keputusan Pengasuh Pesantren Attahdzib pada 26 Maret lalu, para santri
berbondong-bondong pulang ke kampung halamannya masing-masing, hanya menyisakan
puluhan santri saja yang lebih memilih untuk tetap berada di pesantren.
Santri Attahdzib dalam acara Pelatihan Khitobiyah |
Hingga
saat ini, kondisi wabah Covid-19 di Indonesia yang belum mereda menjadikan
berbagai macam kegiatan harus terkendala, hal ini sebagai salah satu upaya
memutus (atau setidaknya meminimalisir) persebaran virus Covid-19.
Beberapa
hari yang lalu Infokom Pesantren Attahdzib melakukan jajak pendapat tentang
perasaan para santri, lebih memilih di rumah saja atau tetap di pondok. Hasil
yang keluar justru mengagetkan karena lebih banyak yang memilih untuk tetap
berada di pondok, berbanding terbalik dengan yang terjadi ketika dibacakan
surat keputusan Pengasuh Pesantren Attahdzib.
Santri Attahdzib dalam acara Pelatihan Khitobiyah |
Peraturan
dari pemerintah seperti social distancing mungkin menjadi faktornya.
Para santri yang pulang kampung layaknya seperti masih di pondok karena harus
tetap berada di rumah, berbeda dengan pulang kampung sebelumnya. Hanya saja,
mereka yang pulang kampung masih bisa leluasa bermain HP dengan segala isinya,
termasuk diantaranya sosial media.
Santri Putri Attahdzib dalam acara Pelatihan Khitobiyah |
Adanya
HP dapat dijadikan sebagai sarana kebutuhan sosial dikala pemerintah membuat
kebijakan seperti social distancing seperti saat ini, kita dapat
melakukan kegiatan secara online sebagai ganti dari kegiatan yang sementara
waktu tidak diperkenankan seperti sekolah online, belanja online, dan lain
sebagainya.
Sebaliknya,
HP juga memberikan dampak yang negatif terhadap penggunanya, sehingga bisa
dikatakan HP bagaikan sebuah pisau. Jika mampu menggunakan dengan baik, maka
bermanfaat bagi penggunanya. Apabila tidak bisa menggunakan dengan baik, justru
pisau itu akan melukai penggunanya sendiri.
“Santri
harus tetap berkultur santri” seharusnya ini sebagai bentuk bukti dari yel-yel
yang dinyanyikan para santri saat Hari Santri Nasional (HSN) 2019 lalu, lirik
“Bangga jadi santri pondok PA” harus dibuktikan dengan perbuatan, bukan sekedar
ucapa
Santri Putri Attahdzib dalam acara Pelatihan Khitobiyah |
Saat
berada di rumah seperti saat ini, santri juga harus tetap mempunyai kultur
santri. Lalu seperti apakah kultur santri saat berada di rumah? Apakah harus
sama persis saat berada di pesantren? Jelas tidak. Yang dibuktikan adalah
esensi kata santri itu sendiri.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santri memiliki arti orang yang mendalami
Agama Islam. Sebagai orang yang belajar ilmu Agama Islam dan remaja Islam,
tentu santri harus berperilaku sebagai orang Islam seperti yang telah di
syariatkan.
Santri Attahdzib dalam acara Pelatihan Khitobiyah |
Menitipkan
anak di pesantren dengan harapan agar anak menjadi baik akan menjadi muspro apabila
orang tua tidak mengontrol anaknya saat berada di rumah, apalagi seperti
saat-saat seperti ini dengan segala aktivitas yang hampir secara online semua.
Jangan sampai orang tua memberi akses HP secara bebas terhadap anak dengan
alasan untuk sekolah online, karena jika itu dilakukan bisa saja akan
memberikan dampak buruk terhadap anak.
Bagi
para santri yang sedang berada di rumah, inilah waktu bagi kalian untuk lebih
erat dengan keluarga. Ingatlah saat sedang berada di pesantren, betapa rindunya
kalian dengan keluarga. Oleh karenanya, janganlah terlalu berlebihan dalam
menggunakan HP, jangan sampai terlalu fokus dengan HP sampai keluarga yang di
sekitar harus terabaikan.
Dan
lagi, HP dan sosial medianya hanyalah dunia maya, tapi efek besarnya dapat dirasakan
di dunia nyata. Lebih bijaklah dalam menggunakan HP beserta isinya, kultur
santri harus tetap kita jaga didalamnya disamping menjaga kultur santri di
dunia nyata. Mari implementasikan ilmu yang telah kita peroleh di dunia pesantren,
mari sebagai pengamal Sholawat Wahidiyah (apalagi remaja di wilayah pusat) kita
amalkan Yukti Kulla Dzi Haqqin Haqqoh dalam bersosial media. Para santri
harus menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Jangan
sampai santri ikut-ikutan challenge kurang pantas, aneh memang. Ada lagi
yang posting “tembus 500 like dan seribu share, aku akan pasang foto tidur di
jalanan”, benar-benar aneh. Oleh karena itulah, orang tua harus intens
mengontrol aktivitas anaknya dalam menggunakan HP, kalau bisa ajaklah
beraktivitas yang berguna. Karena yang sayang bukan berarti menuruti segala
kemauan....
Santri Attahdzib dalam acara Pelatihan Khitobiyah |